Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin (Roma 8: 22).
Kita berada di NTT Lama, yaitu: Nasib Tidak Tentu, atau Nanti Tuhan Tolong. Dan, kita mau beranjak ke NTT Baru, yaitu: Negeri Taman Tuhan. (Yesaya 51: 3). Apa yang diantisipasi? Bagi orang yang peduli, peralihan dari yang lama ke yang baru itu dirasakan bagaikan orang sakit bersalin. Kesakitan itu diantisipasi tibanya, demikian juga kegembiraan, yang menyertai kelahiran yang baru itu. Tetapi, apakah yang harus dikerjakan; apakah yang akan terjadi; dan kapankah kelahiran itu akan terjadi?
Apa yang mau dikerjakan dan akan dihadapi dalam pembangunan NTT Baru, bukanlah sesuatu yang baru di dalam sejarah. Ada pengalaman orang lain di tempat lain, yang dapat dijadikan pelajaran untuk tindakan kita, kini dan di sini, di Nusa Tenggara Timur, khususnya di lingkungan STT ini, yang kini merayakan HUT-nya yang ke-50. Ada dua peristiwa sejarah yang dapat dipilih sebagai sumber pembelajaran. Pertama, perjalanan bangsa Israel, meninggalkan Tanah Perhambaan di Mesir, menuju Tanah Perjanjian di Kanaan, sekitar 3.400 tahun tahun yang lalu. Kedua, pemberdayaan masyarakat miskin di Bangladesh lebih dari 40 tahun yang lalu, yang menyebabkan penggagasnya, Muhammad Yunus, dianugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006.
1. Rantai Perbudakan
Mengapa bangsa Israel meninggalkan Mesir? Karena mereka menderita luar biasa, sebagai budak-budak di Mesir. Kesulitan selalu melahirkan peluang munculnya pemimpin yang memimpin mereka yang tertindas, bertindak melepaskan diri dari rantai perbudakan. Di bawah kepemimpinan Musa, bangsa Israel bersatu pendapat dan tindakan meninggalkan Mesir. Tetapi, mereka harus berputar-putar selama 40 tahun, mengalami banyak kesulitan yang berkali-kali menghasilkan perbedaan pendapat dan pertengkaran, bahkan keinginan untuk kembali ke Tanah Perhambaan. Bagaimanakah Musa memecahkan masalah yang dihadapi? Pemecahan masalah terjadi secara bertahap, satu demi satu, tahap demi tahap, tidak sekaligus, hingga tuntas.
Gambar 1. Jalan panjang dalam ketidak-pastian. Pertama, para mantan budak ini harus melepaskan diri samasekali dari masa lalu, yang ditandai dengan pemisahan fisik oleh Laut Merah. Kedua, mereka memasuki masa ketidak-pastian, antara masa lalu dan masa depan, antara Mesir dan Tanah Perjanjian. Dalam ketidakpastian itu, ada yang mempertanya-kan kepemimpinan Musa, dan ada yang ingin kembali saja ke masa lalu, yaitu Mesir yang sudah ditinggalkan. Ketiga, ketika menyongsong masa baru, mereka berlatih mengikatkan diri pada pegangan yang baru, Sepuluh Hukum: sebuah pegangan kehidupan bagi yang baru merdeka. Beralih dari sikap mental manusia budak lama ke sikap mental manusia merdeka memakan waktu yang lama: 40 tahun. Revolusi mental adalah pencabutan akar mentalitas lama dan penggantiannya dengan akar baru, dalam waktu yang tidak pendek. Keempat, ketika sedang berada dalam perjalanan ke Kanaan, tidak ada yang tahu arah perjalanan, lamanya perjalanan, dan apakah akhinrya mereka akan tiba di Tanah Perjanjian. Tidak ada kepastian. Kelima, Musa sendiri tidak tiba di Tanah Perjanjian: ada peralihan kepemimpinan dari generasi lama ke generasi penerus. Sejarah tidak terbentuk oleh satu orang saja, termasuk Musa. 2. Rantai Kemiksinan Di bawah kepemimpinan Musa, bangsa Israel melepaskan diri dari belenggu perham-baan di Mesir, lebih dari 3.400 tahun yang lalu. Di masa kini, di abad XXI ini, di bawah kepemimpinan Muhammad Yunus, ada seklompok masyarakat miskin di Bangladesh, yang melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Apa yang dikerjakan sekitar 40 tahun yang lalu, menyebabkan Muhammad Yunus dianugerahkan Hadiah Nobel Per-damaian pada tahun 2006.[3] Apa pelajaran yang dapat ditarik oleh masyarakat NTT, untuk melepaskan diri dari belenggu NTT Lama, menyongsong NTT Baru?
Gambar 2. Mulai dari yang kecil, sekarang!
Pertama, menurut Muhammad Yunus, dalam banyak hal apa yang dikerjakannya bukanlah hal-hal besar yang direncanakan dengan cermat, melainkan hal-hal kecil yang segera dilakukannya untuk memecahkan masalah yang ada di depan matanya, yaitu: kemiskinan. Katanya, kita dapat mempelajari kemiskinan dengan membaca buku, tetapi dampak kemiskinan pada diri kita jauh berbeda jika kita melihatnya dengan mata kepala sendiri, di depan hidung kita. Dan, apa yang segera dapat dilakukan itu, ia tidak tahu apa dampaknya di kemudian hari. Dengan lain perkataan, tindakannya adalah tindakan iman hari ini, tanpa pikir panjang tentang apa hasilnya di kemudian hari. Kedua, ia bertindak berdasarkan dorongan hatinya, menggunakan apa yang ada padanya. Pada suatu saat di tahun 1974, Bangladesh mengalami kelaparan yang luar biasa, dan banyak orang yang mati kelaparan. Ketika ia keluar dari kampus tempat ia me-ngajar Ilmu Ekonomi, ia melihat banyak orang miskin seperti kerangka yang berjalan, menunggu kematiannya. Seketika ia sadar bahwa kuliah-kuliahnya yang canggih di ruangan kelas tidak ada gunanya bagi masyarkat miskin yang ada di depan mata-nya. Ia merasa diri hampa. Dari kehampaan itulah ia mulai bertindak. Ia memberikan pinjaman sebesar 27 dolar kepada 42 orang pekerja miskin, dengan syarat: mereka harus mengembalikan pinjaman itu pada saat mereka sudah mampu mengembalikannya. Ternyata, dalam waktu singkat pinjamannya sudah kembali. Kian hari kian banyak orang yang meminta pinjaman kepadanya, dan semua pinjaman ternyata dapat dikembali-kan. Tidak ada kredit macet. Segera ia minta bank setempat, di sekitar kampusnya, untuk mem-berikan pinjaman tanpa agunan kepada kaum miskin. Usulnya ditolak, karena tidak masuk akal para penge-lola bank. Ia lalu membuat usulan kepada pemerintah untuk mendirikan sebuah bank sendiri. Melalui proses yang panjang akhir-nya sebuah bank dapat didirikan pada tanggal 2 Oktober 1983, dengan nama Grameen Bank, yaitu Bank Desa. Ketiga, tidak seperti biasanya, Grameen Bank memberikan pinjaman kepada kaum perempuan miskin yang umumnya butahuruf. Sekitar 90 persen nasabahnya adalah perempuan, dan tingkat pengembalian pinjamannya mencapai 97 persen. Keempat, para nasabah tidak mendatangi bank. Petugas banklah yang mendatangi kaum miskin untuk memberikan pinjaman, yang kecil jumlahnya, tetapi besar jumlah penerimanya, hingga mencapai jutaan orang. Kelima, setiap nasabah diharuskan menabung di Grameen Bank. Jumlah tabungan yang meningkat menyebabkan para nasabah itu berubah posisinya, dari orang yang meminjam menjadi orang yang meminjamkan uang kepada orang lain yang membutuhkannya. Keberhasilan menghasilkan keberhasilan. Konsep Grameen Bank menyebar ke seluruh dunia, di bawah nama Kreditmikro, sebuah istilah yang belum ada sebelumnya di dalam kamus. Dunia mengakui keberhasilan Kreditmikro. Pada tahun 2006 Muhammad Yunus dan masyarakat lokalnya menerima Hadiah Nobel Perdamaian.[4] Hasil itu tidak pernah dimimpikan sebagai sebuah tujuan. Hasilnya adalah sebuah akibat kepedulian untuk bertindak, dengan tindakan yang kecil, untuk membantu orang lain. Tindakan kecil hari ini, dapat bermakna besar di kemudian hari.
3. Rantai Kepulauan Kini dibutuhkan adanya usaha melepaskan diri dari rantai NTT Lama, menyongsong NTT Baru. Berdasarkan uraian dua kasus di atas, apa yang perlu dan dapat dikerjakan masyarakat NTT? Gambar 3. Apa masalah dan pemecahannya? Pertama, NTT adalah sebuah gugus kepulauan, yang sambung-menyambung, menjadi satu rantai. Perbedaan suku-bangsa dan agama adalah sebuah kekayaan, bukan sebuah hambatan pembangunan. Sebuah pepatah dari masa Yunani Kuno mengatakan: Kesatuan dalam hal-hal yang hakiki, kebebasan dalam hal pelaksanaan, dan saling percaya dalam segala hal. Adalah juga layak untuk mendengar apa yang dikatakan Bapak Pembangunan Singapura, almarhum Lee Kuan Yew (1923-2015), yaitu: Keberhasilan pembangunan Singapura disebabkan oleh satu hal saja: SALING PERCAYA. Saling percaya berarti, kalau ada perbedaan pendapat, hal itu dinyatakan secara terbuka, tanpa terjadinya perpecahan dan permusuhan. Kedua, perlu adanya kesatuan kemauan untuk bersama-sama meninggalkan NTT Lama menuju NTT Baru, seperti kesatuan kemauan bangsa Israel meninggalkan Mesir, Tanah Perhambaan, menuju Kanaan, Tanah Perjanjian. Tanpa kesatuan kemauan, perjalanan pembangunan mungkin akan berputar-putar, tidak menentu arahnya, selama bertahun-tahun. Ketiga, kesatuan kemauan itu dijabarkan kedalam tindakan, satu demi satu, menggunakan apa yang ada. Boleh berpikir besar tentang NTT Baru, tetapi harus bertindak kecil, sekarang, dengan hati yang peduli, seperti yang dikerjakan Muhammad Yunus di Bangladesh. Keempat, ketika menghadapi masalah, jangan cari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dalam pikiran kita, yang perlu dicabut akarnya. Nasib Tidak Tentu dan Nanti Tuhan Tolong adalah dua pikiran dasar yang harus dicabut akarnya, dengan kemauan dan tindakan bersama, sekarang! Pencabutan akar itu harus dimulai terutama dari rumah dan lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan generasi masa depan pada usia dini. Mencabut yang lama itu mungkin menyakitkan, seperti orang merasa sakit bersalin. Tetapi, setelah kesakitan itu, ada kegembiraan karena sesuatu kelahiran yang baru. Salah satu pola pikir yang sangat meng-hambat pembangunan, dan karena itu harus dicabut akarnya, ialah: kecenderungan pengajaran agama, yang lebih mengidolakan Lazarus yang miskin, yang masuk surga, ketimbang hamba yang setiawan, yang meli-patgandakan talentanya, dan juga masuk surga. Apanya yang salah sehingga ada orang miskin yang kelaparan di tengah-tengah sumberdaya alam yang sudah dilimpahkan Tuhan kepada Indonesia, termasuk NTT? Dibandingkan dengan Singapura, kita ini diberkati Tuhan dengan sumberdaya alam yang melimpah. Mengapa kita ini miskin dibandingkan dengan Singapura yang miskin sumberdaya alam? Pada tahun 2009, seorang mahasiswi Program Doktor yang penulis bimbing di Makassar, merasa penasaran melihat kenyataan bahwa daerah asalnya, Maluku, yang kaya sumberdaya alamnya, kini masih merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Perhatiannya tertuju pada pola pikir dan pola kerja sekelompok kaum perempuan pedagang yang di Maluku dinamakan papalele. Mereka ini adalah perempuan pedagang yang bekerja keras, menjadi tulang-punggung ekonomi keluarga. Walaupun bekerja keras, di lingkungan yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi mereka tetap hidup pas-pasan (subsistence life). Mengapa? Itulah yang menjadi pertanyaan pokok penelitian calon Doktor Maria Tupamahu.[5]
Gambar 4. Perempuan papalele; penjunjung ekonomi keluarga, yang hidup pas-pasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehidupan mereka yang pas-pasan bersumber pada pola pikirnya tentang kehidupan yang berkenan di mata Tuhan. Di bawah ini dikutipkan pendapat dua responden yang beragama Islam:
Responden 1: Semua rejeki itu anugerah Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. Lalu, mengapa mau susah-susah berpikir menjadi lebih kaya?
Responden 2: Hidup, mati, rejeki, itu semua sudah diatur oleh Allah SWT. Jadi, kalau nasib sudah ditentukan, siapa yang mau melawannya?
Ada nada menyerah pada nasib, yang sudah ditentukan oleh Tuhan, yang tidak boleh dilawan. Ternyata pendapat yang sama ditemukan pada responden lainnya, yang beragama Kristen, seperti yang terlihat berikut ini.
Responden 5: Tuhan sudah memberi. Biarpun sedikit, itu adalah berkat yang tidak dapat dilawan.
Responden 7: Kami berjualan tetapi tidak berjiwa pedagang. Kami berjualan sekedar untuk menyambung hidup, bukan untuk memperkaya diri.
Responden 8: Berkat tiap orang itu sudah tiap hari disediakan oleh Tuhan. Berkat setiap hari sudah cukup, tidak berlebihan, cukup untuk disimpan sedikit-sedikit dan mengsyukurinya.
Pikiran semacam ini antara lain ditemukan juga dalam sebuah laporan seorang Pekabar Injil di Toraja[6] pada awal abad XX. Laporan itu antara lain berbunyi sebagai berikut:
Di mana saja saya tinggal dalam perjalanan ini hal pokok yang sama saya uraikan, yakni perumpamaan orang bodoh yang kaya dari Lukas 17. Di mana saja cerita ini saya sampaikan secara sejalas-jelasnya, Kekayaan orang itu dibentangkan sejelas-jelasnya. Lumbung-lumbungnya bertambah banyak terus; lumbung-lumbung itu berdiri berbaris di depan rumahnya sehingga setiap orang yang datang di kampung bertanya dengan amat heran: siapakah gerangan yang menjadi pemilik lumbung-lumbung padi ini? dan jawabannya selalu berbunyi: “Pare la’bi’” (dia yang padinya bertambah terus).[7]
Topik tersebut di atas disampaikan di mana-mana pada setiap perkunjungannya. Topik ini sangat gampang dimengerti dan menarik perhatian para pendengarnya, karena memang di dalam kebiasaan masyarakat Toraja, orang mendirikan lumbung padinya terlepas dari rumah tempat tinggalnya, yang gampang terlihat orang lain dari luar. Setelah orang tertarik perhatiannya, Pekabar Injil itu menyudahi penuturannya dengan mengatakan bahwa orang kaya itu adalah orang yang bodoh di mata Tuhan. Dengan bangga ia antara lain menuturkan kepada para pembacanya di negeri Belanda sebagai berikut:
Khalayak ramai seperti tersambar halilintar waktu saya menunjukkan arti perumpamaan itu bagi mereka. Berita seperti itu sama sekali baru bagi mereka. Orang itupun pada terpukul. Selanjutnya dengan mulut menganga didengarkannya penjelasan saya dan alasan-alasan mengapa orang itu bodoh di mata Allah. Bahwa Allah mengasihi orang miskin sama seperti orang kaya, nah, hal itu belum pernah timbul dalam benak orang Toraja. Hal itu benar-benar merupakan berita yang amat baru.[8]
Kita tidak meragukan maksud baik sang Pekabar Injil tersebut di atas. Ia telah bekerja dengan keyakinan penuh tentang kebenaran Injil yang diberitakannya. Tetapi, perlu kita bayangkan, apakah yang terjadi di dalam pikiran para pendengarnya, dan apa kemungkinan akibatnya? Salah satu kemungkinannya ialah: pendengarnya mengidealisasikan kemiskinan, dan mengharamkan kekayaan material. Lazarus yang miskin diidolakan karena akan masuk surga. Orang miskin mendapat alasan yang bagus untuk membenarkan kemiskinannya. Orang miskin tidak perlu berusaha mengatasi kemiskinannya, karena ia dikasihi oleh Tuhan, dan ia akan masuk surga. Bukan ia yang bodoh, melainkan orang yang kaya. Apakah pesan ini relevan di tengah-tengah kemiskinan material yang ada sekarang ini di Indonesia, termasuk di NTT?
Harian Kompas menurunkan sebuah berita pada tanggal 23 Juni 2015 sebagai berikut:
Sebanyak 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk selama Januari-Mei 2015. Tercatat 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat gizi buruk. Selain itu masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.
Siapakah yang berani menghibur ibu-bapak balita yang mati karena kekurangan gizi, dengan mengatakan: “Janganlah sedih! Tuhan mengasihi orang miskin! Anakmu menderita di dunia, dan mati, tetapi ia akan masuk surga!”
Mengapa Singapura, yang miskin sumberdaya alam, dapat memajukan dirinya menjadi bangsa maju kelas satu? Penyebab kemiskinan sesuatu bangsa bukan terletak pada kekurangan sumberdaya alam, melainkan pada pikiran manusia yang terbentuk melalui pendidikan. Maka, pemecahan masalah kemiskinan dimulai dari pendidikan SDM masa kini pada usia dini, dimulai dari rumahtangga sendiri. Dan, pengajaran agama seyogianya mendukung pembentukan ethos kerja hamba yang setiawan, bukannya mengidealisasikan kemiskinan dan mengidolakan orang miskin.
Kelima, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meninggalkan NTT Lama dan mencapai NTT Baru, tidak ada yang tahu. Demikian juga, siapa yang akan sampai di sana, tidak ada yang tahu. Tetapi, itu bukan urusan kita. Itu adalah urusan Pencipta Sejarah. Seyogianya, dengan rendah hati kita katakan: “Orang lain yang menanam, orang lain yang memelihara, orang lain yang memetik hasilnya, tetapi Tuhan yang menumbuhkan!
Semoga dengan uraian yang sudah dikemukakan, dengan gembira kita rayakan HUT ke-50 dari STT ini, sebagai lembaga penghasil dan penabur bibit unggul, menuju NTT Baru. Selamat menyongsong NTT Baru, Negeri Taman Tuhan! Makassar, Agustus 2016.
Biodata Penceramah
1. Nama: Willem Immanuel Matheos Poli.
2. Tempat dan tanggal lahir: Kalabahi, Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 25 Juni 1938.
3. Riwayat Pendidikan Sekolah Dasar, 1946-1952, Kupang. SMP Bagian B (Eksakta), 1952-1955, Kupang. SMA Bagian B (Eksakta), 1955-1958, Kupang. Fakultas Ekonomi, UNHAS, 1958-1964, Makassar. Speciaal Diploma, Instituut voor de Studie der Ontwikkelingslanden, Universitas Katolik, Leuven, Belgia, 1971-1972. Doctor of Philosophy, University of New England, Australia, 1985-1989. 4. Riwayat Pekerjaan
Asisten Dosen hingga Guru Besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin, 1961-2010.
Guru Besar Emiritus, sejak 2010.
5. Beberapa Karya Tulis
Suara Hati yang Memberdayakan;Gagasan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Jayapura (bersama Agustinus Salle dan Purnomo), 2006. Identitas, Makassar.
Modal Sosial Pembangunan, 2008. Identitas, Makassar
Yawa Datum di Tanah Papua, 2008. Identitas, Makassar.
Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua (bersama M. Dahlan Abubakar dan Sitti Bulkis), 2008. Identitas, Makassar.
Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, 2010. Brilian Inter-nasional, Surabaya.
Manajemen Stratejik melalui Cerita Kecil; Dari Manajemen Kuda Mati hingga Manajemen Tongkat Bicara, 2011. Brilian Internasional, Surabaya.
Kepemimpinan Stratejik; Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Bangladesh, 2011. Identitas, Makassar.
Manajemen Perubahan; Tantangan dan Penerapan, 2012. Identitas, Makassar.
Filsafat Melalui Lelucon atau Lelucon Melalui Filsafat? (bersama Soemarwati Poli-Kramadibrata), 2012. Identitas, Makassar.
Rekam Jejak JK; Sebuah Kajian Kepemimpinan, 2014. Gramedia, Jakarta.
Kepemimpinan Stratejik; Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Tana Toraja, 2016. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Asah Budi, Tempa Hati; 77 Renungan Singkat Manajemen, 2016. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
______________
[1] Ceramah pada peringatan hari lahir ke-50 STT Injili dan Kejuruan Kupang, Kupang, 6 Agustus 2016.
[2] Guru Besar Emiritus, Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin, Makassar.
[3] Lihat “Kasus Grameen Bank” di dalam W.I.M. Poli, Kepemimpinan Strategis; Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Tana Toraja, 2016: 151-188.
[4] Muhammad Yunus juga memperoleh 28 gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas ternama.
[5] Kini, Dr. Maria Tupamahu; dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pattimura, Ambon.
STTIK Kupang merayakan 50 tahun keberadaan pelayanannya di NTT sejak dari Sekolah Guru Injil di Sumba Timur 1966. Pdt. Salmon Atamabi, S.Pd, S.Th, MM selaku ketua panitia bersama sekolah meramu kegiatan ini dilaksanakan dari tanggal 2-9 Agustus 2016. Kegiatan selama satu minggu yakni: tanggal 2-3, kegiatan temu alumni ada seminar cara hidup sehat dari Program Studi Ilmu Gizi Politekni Kesehatan Kupang. tanggal 4-5, seminar interpreneurship oleh Pdt. Nemuel Baitanu, Wakil Ketua Ayub Propinsi Sulawesi Selatan. 6 Agustus Seminar oleh Prof. Dr. W.I.M. Poli, Guru Besar Emiritus Universitas Hasanuddin Makassar. Tanggal 8, malam pengutusan oleh Pdt. Dr. Yakob Tomatala. Tanggal 9 pelaksanaan wisuda dan syukuran diesnatalis orasi ilmiah oleh Dr. Yakob Tomatala. Semua kegiatan ini diikat dengan tema Bekerja selagi hari siang yang diambil dari teks Yohanis 9:4.
Responsive & Interactive
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi.
Cleaner Graphics
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi.
Wider Scope
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi.
Tablet Ready
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi.