Di era 50-80 an tampaknya sekolah-sekolah theologia masih memfokuskan misi untuk mencetak hamba-hamba Tuhan yang siap melayani di medan pelayanan. Setiap pribadi yang mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah theologia diberi keyakinan bahwa menjadi hamba Tuhan Fultime adalah panggilan yang harus di jalankan tanpa syarat.
Tetapi sangat berbeda dengan di era 90 an sampai sekarang dan bahkan mungkin seterusnya Sekolah-sekolah Tinggi Theologia harus mengikuti arus dunia pendidikan sesuai dengan peraturan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah tinggi maupun universitas baik negeri maupun swasta. Karena itu untuk dapat diakui oleh pemerintah dan tidak dianggap lembaga pendidikan liar, maka perlu diadanya akreditasi sekolah tersebut. Karena itu saat ini dengan berbagai upaya telah dilakukan agar sekolah-sekolah Tinggi Theologia kita dapat diakui sebagai perguruan tinggi swasta resmi yang dapat berkerja sama dengan pemerintah. Alhasil usaha itu tidak sia-sia sekolah-sekolah theologia kini telah banyak yang berstatus terakriditasi pada BAN.
Tetapi sangat berbeda dengan di era 90 an sampai sekarang dan bahkan mungkin seterusnya Sekolah-sekolah Tinggi Theologia harus mengikuti arus dunia pendidikan sesuai dengan peraturan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah tinggi maupun universitas baik negeri maupun swasta. Karena itu untuk dapat diakui oleh pemerintah dan tidak dianggap lembaga pendidikan liar, maka perlu diadanya akreditasi sekolah tersebut. Karena itu saat ini dengan berbagai upaya telah dilakukan agar sekolah-sekolah Tinggi Theologia kita dapat diakui sebagai perguruan tinggi swasta resmi yang dapat berkerja sama dengan pemerintah. Alhasil usaha itu tidak sia-sia sekolah-sekolah theologia kini telah banyak yang berstatus terakriditasi pada BAN.
Usaha untuk mencapai status terakreditasi pada BAN tidak sampai di situ saja. Status terakreditasi sekolah-sekolah Theologia kini mengubah sepak terjang sekolah-sekolah theologia menjadi lebih luas dan tepat sasaran. Sasaran pelayanan tidak lagi hanya secara interen tetapi juga secara eksteren. Implikasinya bahwa para lulusan-lulusan Sekolah-sekolah theologia secara akademis diakui oleh pemerintah, para lulusan mendapat peluang besar untuk dapat bekerja di pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil bidang pendidikan kristen atau yg sejenisnya bahkan lebih dari itu.
Tidak hanya itu. Status terakreditasi sekolah theologia telah member warna baru bagi sekolah-sekolah theologia, betapa tidak Sekolah-sekolah theologia yang nota bene dulunya sebagai sekolah “orang buangan” dari PTS lain karena kini Sekolah Theologia sudah menjadi sala satu Sekolah Tinggi yang dapat dijadikan pilihan dalam melanjutkan studi karena lulusannya selain mengantong ijasa lokal juga mengantongi ijasa negara yang dapat digunakan untuk melamar sebagai PNS. Jadi jika dilihat dari sisi tangung jawab bernegara, status sekolah-sekolah Theologia yg sudah terakriditasi sangat mendukung kita untuk memperluas pelayanan berbagai bidang dan berkiprah di dalam pemerintahan dalam membangun manusia indonesia yang seutuhnya sebagai tangung jawab kita orang -orang yang percaya terhadap bangsa ini. Sungguh luar biasa ini adalah suatu kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk melakukan gerekan perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan anti korup. Karena itu setiap lulusan sekolah theologia yang terjun di pemerintahan sangat diharapkan agar mereka tetap hidup dengan takut akan Tuhan, hidup sebagai hamba Allah, menjadi garam dan membawa pengaruh positif dimana mereka bertugas.
Selain itu ada juga dampak lain dari status sekolah-sekolah theologia yang terakreditasi. Penulis tidak ingin menyebutnya dampak negative tetapi lebih melihatnya sebagai suatu paradigma. Dampak yang dimaksudkan adalah dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun terakhir ini ada lulusan sekolah Theologia yang sudah melayani sebagai “hamba Tuhan” alias pemimpin jemaat atau gembala sidang yang sudah sekian lama melayani kemudian mereka coba-coba untuk mengikuti tes Pegawai negeri karena memang mereka sudah mengantongi ijasa negara dan memang kebanyakan dari mereka yang ikut tes, lolos dan menjadi PNS. Sebagai konsekwensinya mereka harus mengikuti peraturan gereja yang mengharuskan mereka mengundurkan diri dan meletakkan jabatan sebagai pemimpin jemaat atau gembala sidang. Pengunduran diri sebagai hamba Tuhan atau gembala sidang atau pekerja dan lain sebagainya oleh karena menjadi Pegawai Negeri kini menuai sindiran-sindiran dari beberapa oknum umat bahkan dari rekan-rekan sepelayananpun mengatakan bahwa merka telah “murtad. Benarkah dengan meninggalkan komitment untuk menjadi pelayan Tuhan fultime mereka telah murtad? Anda jawablah sendiri! Tetapi mereka yang di cap “murtad,” pun tidak habis akal mereka memiliki stepmen yang kuat, mereka mengatakan bahwa “menjadi PNS juga melayani”. Benar. Suatu jawaban yang tepat sekali. harapan kita agar mereka sungguh-sungguh tetap hidup sebagai hamba Allah dan menjadi teladan dalam pekerjaan baru mereka. Tetapi sayang tidak semua harapan-harapan ini menjadi kenyataan sebab ada diantara mereka justru tidak menjadi berkat dan teladan dalam pekerjaan mereka bagi orang lain. Mereka justru hidup sepeti orang-orang yang tidak pernah mengecap pendidikan theologia, mereka telah dilindas oleh sistem. sungguh tragis. Atas dasar tersebut sebagaian orang mengkhawatirkan akan adanya pergeseran nilai pada sekola-sekolah theologia dimana orang-orang yang masuk sekolah theologia sudah tidak lagi murni sebagai suatu panggilan Allah untuk menjadi hamba Tuhan.
Terlepas dari theologiA panggilan, memang sekolah-sekolah Theologia mau tidak mau, senang atau tidak harus beradaptasi! Dan kondisi ini menjadi tanggung jawab besar bagi sekolah Theologia bagaimana menciptakan, melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap pelayanan dan ethos kerja. sehingga ketika lulusan ini terjun ke masyarakat baik sebagai pelayan/hamba Tuhan/gembala/pemimpin jemaat mereka akan menjadi pemimpin jemaat yang punya komitmen tinggi dan jelas dalam pelayanan. Atau mungkin mereka akan terjun di masyarakat sebagai PNS mereka akan menjadi PNS yang memiliki integritas tinggi dalam pekerjaan mereka sebagai suatu panggilan sehingga mereka menjadi PNS yang takut akan Tuhan, tidak korup, tidak meninggalkan nilai-nilai takut akan Tuhan dan prinsip pelayanan, mereka menjadi teladan, memiliki etos kerja yang tinggi! Dengan demikian disana juga Kristus dimuliakan. D engan demikian kekuathiran sekelompok orang akan terjadinya krisis hamba Tuhan dan sindiran ketidak jelasan panggilan kepada mereka yang beralih profesi dari hamba Tuhan ke PNS tidak akan terjadi. (Pdt. Yohanes Djuk, M.Th, SH)
Tidak hanya itu. Status terakreditasi sekolah theologia telah member warna baru bagi sekolah-sekolah theologia, betapa tidak Sekolah-sekolah theologia yang nota bene dulunya sebagai sekolah “orang buangan” dari PTS lain karena kini Sekolah Theologia sudah menjadi sala satu Sekolah Tinggi yang dapat dijadikan pilihan dalam melanjutkan studi karena lulusannya selain mengantong ijasa lokal juga mengantongi ijasa negara yang dapat digunakan untuk melamar sebagai PNS. Jadi jika dilihat dari sisi tangung jawab bernegara, status sekolah-sekolah Theologia yg sudah terakriditasi sangat mendukung kita untuk memperluas pelayanan berbagai bidang dan berkiprah di dalam pemerintahan dalam membangun manusia indonesia yang seutuhnya sebagai tangung jawab kita orang -orang yang percaya terhadap bangsa ini. Sungguh luar biasa ini adalah suatu kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk melakukan gerekan perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan anti korup. Karena itu setiap lulusan sekolah theologia yang terjun di pemerintahan sangat diharapkan agar mereka tetap hidup dengan takut akan Tuhan, hidup sebagai hamba Allah, menjadi garam dan membawa pengaruh positif dimana mereka bertugas.
Selain itu ada juga dampak lain dari status sekolah-sekolah theologia yang terakreditasi. Penulis tidak ingin menyebutnya dampak negative tetapi lebih melihatnya sebagai suatu paradigma. Dampak yang dimaksudkan adalah dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun terakhir ini ada lulusan sekolah Theologia yang sudah melayani sebagai “hamba Tuhan” alias pemimpin jemaat atau gembala sidang yang sudah sekian lama melayani kemudian mereka coba-coba untuk mengikuti tes Pegawai negeri karena memang mereka sudah mengantongi ijasa negara dan memang kebanyakan dari mereka yang ikut tes, lolos dan menjadi PNS. Sebagai konsekwensinya mereka harus mengikuti peraturan gereja yang mengharuskan mereka mengundurkan diri dan meletakkan jabatan sebagai pemimpin jemaat atau gembala sidang. Pengunduran diri sebagai hamba Tuhan atau gembala sidang atau pekerja dan lain sebagainya oleh karena menjadi Pegawai Negeri kini menuai sindiran-sindiran dari beberapa oknum umat bahkan dari rekan-rekan sepelayananpun mengatakan bahwa merka telah “murtad. Benarkah dengan meninggalkan komitment untuk menjadi pelayan Tuhan fultime mereka telah murtad? Anda jawablah sendiri! Tetapi mereka yang di cap “murtad,” pun tidak habis akal mereka memiliki stepmen yang kuat, mereka mengatakan bahwa “menjadi PNS juga melayani”. Benar. Suatu jawaban yang tepat sekali. harapan kita agar mereka sungguh-sungguh tetap hidup sebagai hamba Allah dan menjadi teladan dalam pekerjaan baru mereka. Tetapi sayang tidak semua harapan-harapan ini menjadi kenyataan sebab ada diantara mereka justru tidak menjadi berkat dan teladan dalam pekerjaan mereka bagi orang lain. Mereka justru hidup sepeti orang-orang yang tidak pernah mengecap pendidikan theologia, mereka telah dilindas oleh sistem. sungguh tragis. Atas dasar tersebut sebagaian orang mengkhawatirkan akan adanya pergeseran nilai pada sekola-sekolah theologia dimana orang-orang yang masuk sekolah theologia sudah tidak lagi murni sebagai suatu panggilan Allah untuk menjadi hamba Tuhan.
Terlepas dari theologiA panggilan, memang sekolah-sekolah Theologia mau tidak mau, senang atau tidak harus beradaptasi! Dan kondisi ini menjadi tanggung jawab besar bagi sekolah Theologia bagaimana menciptakan, melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap pelayanan dan ethos kerja. sehingga ketika lulusan ini terjun ke masyarakat baik sebagai pelayan/hamba Tuhan/gembala/pemimpin jemaat mereka akan menjadi pemimpin jemaat yang punya komitmen tinggi dan jelas dalam pelayanan. Atau mungkin mereka akan terjun di masyarakat sebagai PNS mereka akan menjadi PNS yang memiliki integritas tinggi dalam pekerjaan mereka sebagai suatu panggilan sehingga mereka menjadi PNS yang takut akan Tuhan, tidak korup, tidak meninggalkan nilai-nilai takut akan Tuhan dan prinsip pelayanan, mereka menjadi teladan, memiliki etos kerja yang tinggi! Dengan demikian disana juga Kristus dimuliakan. D engan demikian kekuathiran sekelompok orang akan terjadinya krisis hamba Tuhan dan sindiran ketidak jelasan panggilan kepada mereka yang beralih profesi dari hamba Tuhan ke PNS tidak akan terjadi. (Pdt. Yohanes Djuk, M.Th, SH)